Chapter 1 - Kelinci dari Kuil Kegelapan

9:48:00 AM
Chapter 1 - Kelinci dari Kuil Kegelapan

"Aku percaya bahwa inti dari sihir adalah sesuatu yang disebut dengan 'kebohongan'."

"Tapi bukankah 'kebenaran' terkadang lebih palsu daripada kebohongan?"

--Tsuchimikado Harutora


Part 1

Ini terjadi beberapa malam sebelumnya--

Altar yang berada di atap bangunan.

Torii yang didirikan pada keempat sisi tempat yang terbuat dari batu. Torii utara berwarna hitam, torii timur berwarna biru, torii selatan

berwarna merah, dan torii barat berwarna putih.

Tempat ini sudah  di bangun dengan banyak tiang, tersusun dengan banyak persembahan. Koin perak, sutra putih, sebuah kuda kertas, sebuah

tentara kertas, baju besi lengkap, busur dan anak panah, sebuah pedang panjang, cloisonne enamel, emas, koto, kecapi. Ada juga banyak kapal

yang terbuat dari kertas yang diisi energi sihir dengan hati-hati yang mengeendalikan tempat tersebut. Disamping mereka juga ada alat

ritual - sebuah drum taiko, sebuah keong, lonceng kereta luncur, sebuah hei, dupa, lonceng tangan, boneka voodo, dan jimat.

Ritual sudah dipersiapkan dengan baik. Angin berhembus di atas atap. Langit cerah perlahan-lahan dan kegelapan terhapus oleh matahari.

Sebentar lagi akan fajar. Waktu ketika matahari dan bulan bertukar tempat sudah dekat.

Ada lima angka pada tempat tersebut. Di tengah berdiri seorang anak laki-laki yang memakai mantel hitam, mata kirinya ditutupi dengan kain.

Ujung dari mantel hitamnya berkibar tertiup angin.

Di depan anak laki-laki itu ada alas yang diatasnya diletakkan seorang anak perempuan. Seolah-olah ia sedang tertidur, namun seragam di

tubuhnya basah oleh darah. Angin lembut menyapu anak perempuan itu dan pita merah muda yang mengikat rambut hitam yang panjang anak

perempuan itu bergoyang lembut oleh angin.

Di belakang anak laki-laki dan anak perempuan itu ada dua sosok yang sedang menonton semuanya.  Salah satunya adalah seorang wanita dengan

telinga hewan dan ekor, yang lainnya adalah seorang pria yang hanya mempunyai satu tangan. Keduanya diam tanpa berkata apa-apa menunggu

datangnya waktu itu.

Orang terakhir adalah seorang gadis kecil yang telah mempersiapkan ritual sembari menunggu mereka. Ekspresinya dingin saat ia menatap anak

laki-laki itu.

Anak itu melihat-lihat dengan mata kanannya yang tersisa untuk memeriksa altar. Gadis itu menunggu anak itu untuk menyelesaikan

pemeriksaan, lalu berjalan menuju anak itu, memberinya selembar kertas yang telah dilipat beberapa kali. Ini adalah naskah untuk orasi

ritual.

Anank itu menerima naskah dan memegangnya di dadanya sejenak, memejamkan matanya. Setelah beberapa saat, ia mengangguk pada gadis itu.

Setelah gadis itu meraih palu, kemudian ia memukul taiko tersebut. Boom - Boom - Boom - Boom - Boom - Boom -, ia memukulnya enam kali.

Kemudian ia mengambil keong dan meniupnya. Suaranya berisi energi sihir dan secara bertahap menembus udara fajar, namun tanda terakhir menggema tempat itu beberapa kali.

Kedua sosok yang melihat semuanya dari belakang sedikit menggerakkan tubuh mereka.

Mantel hitam yang membungkus anak itu membesar seolah-olah mantel tersebut bernapas. Anak itu memegang naskah dan meneriakkan mantra dengan suara keras.

"Onmyoudou Tsuchimikado ingin memanggil Taizan Fukun, penguasa dunia bawah -"

... Itu terjadi beberapa malam yang lalu.

Roda nasib yang melampaui waktu di percepat.


Part 2

Angin bertiup ke arah hutan gunung dengan meningkatnya udara dingin di musim dingin. Tubuh gadis kecil itu tidak bisa membantu tetapi menggigil, jadi ia memegang sapu bambu di dadanya, sambil menggosok-gosok tangannya. Puncak gunung selalu di datangi musim dingin lebih awal daripada kaki gunung. Napas yang berasal dari mulutnya langsung menjadi kabut putih.

Ia melemparkan tatapannya ke atas, dimana langit gelap tertutup oleh ranting-ranting dimana-mana. Daun merah terang mulai memudar beberapa hari. Buah yang sudah matang sesekali meninggalkan ujung ranting, jatuh bebas ke bawah. Karena itu, ia tidak akan mampu menyapu dengan bersih tidak peduli bagaimana ia menyapu. "Hah -" Sambil menghela napas, gadis itu menatap daun maple yang jatuh.

Tidak lama setelah itu.

"Akino! Apa kau masih belum selesai?"

Sebuah gemuruh datang dari tempat yang sangat jauh. Gadis bernama Akino berteriak "Ya -" setelah ia mendengar suara itu, dan di saat berikutnya rambut gadis itu tampak melayang ke atas.

Gadis itu buru-buru menutupi kepalanya dengan tangannya, dan membuat sapu yang ia pegang jatuh ke tanah. "Ah - Ah -" Ia melirik sapu yang jatuh ke tanah, dan kacamata yang tidak pas di wajahnya juga turun tanpa ragu. Pada akhirnya, Akino diam-diam meratap "Uuu -"sambil memegang kepalanya dan dengan kacamatanya yang miring. Ia berbalik untuk melihat ke arah suara.

Selain daun maple yang memerah, beberapa pohon cedar besar yang sudah tua menjulang ke sekelilingnya. Sebuah aula tua bisa dilihat melewati pohon-pohon cedar yang seperti sebuah pintu. Seorang biksu Buddha mengerutkan kening seperti biasa yang berjalan dari sana, mengenakan jubah pendeta hitam di atas sebuah antarvasa kasaya. Ia adalah seorang Ajari senior di biara ini.

"Ah, Imam Tadanori......"

"Yang lain sudah selesai semua, kamu satu-satunya yang selalu membuang-buang waktu."

"A-ah..... Maaf...."

Akino berpikir untuk melarikan diri sambil meminta maaf dengan terbata-bata. Meskipun ia meminta maaf, suaranya nyaris tak terdengar kecuali didengarkan dengan seksama.

Tidak tahu mengapa, biarawan itu mengerutkan kening dan menatap gadis itu dengan tatapan menakutkan. Biawaran itu mengeluh kepada gadis itu dengan ekspresi pasrah, tapi Akino tampak hati-hati melihatnya dan biarawan itu hanya bisa memaksa dirinya untuk menelan semua kemarahannya.

"... Bagaimanapun juga, cepat selesaikan. Kita akan menyiapkan makan siang, jadi pergi untuk membantu mempersiapkan makanan!"

"O-oke..."

Akino segera menjawab dan mengambil sapunya, serta menyesuaikan kacamatanya di saat yang sama. Setelah Tadanori menatap gadis itu lagi seolah-olah menasihati dirinya, ia berjalan kembali ke aula.

Tadanori adalah orang yang bertanggung jawab atas vihara dan juga seorang pria yang suka menegur orang lain, tapi sekarang ia telah berhati-hati. Bukan hanya dia, semua orang dewasa di biara ini juga seperti itu. Itu adalah keberuntungan yang langka ketika perbedaan pendapat dapat diselesaikan tanpa amarah yang meluap-luap.

Bahkan meski begitu, tidak seperti benar-benar terjadi. Akino buru-buru menyapu semua daun ke tempat sampah. Setelah melempar daun ke tempat pembakaran di belakang biara, ia berjalan menuju gudang untuk membantu menyiapkan makan siang. Ada dapur biara di gudang ini bersama dengan banyak kamar untuk para biksu. Ada juga dapur yang di set di kamar biksu.

Teriakan terdengar keluar begitu ia masuk.

"Kau lambat Akino! Apa yang kau lakukan?"

"M-maaf....."

"Akino, kurang kayu bakar!"

"O-oke.... aku akan pergi untuk mengambilnya sekarang..."

Akino menjawab sambil berlari ke kanan, membawa beberapa kayu bakar yang di tumpuk di bawah atap bangunan. Mungkin karena bensin sangat berharga, penggunaannya dibatasi. Oleh karena itu, mereka pada dasarnya menggunakan kompor yang bahan bakar utamanya kayu untuk memasak makanan setiap hari.

Tetapi metode untuk menyalakan api mereka sangat unik - memang sangat aneh.

Para senior dari vihara berdiri di depan kompor, membentuk segel tangan ke arah kompor dan merapal mantera dengan mata setengah tertutup. Tidak lama kemudian, kayu tersebut terbakar oleh nyala api.

Ini adalah sihir.

Terlebih, itu diklasifikasikan sebagai sihir kelas atas di bawah hukum Onmyou modern.

"Ambil piring sekarang, Akino!"

"Oke...."

"Cepatlah sedikit.....!? Kau, ini!"

"M... Maaf...."

Kemarahan dan ketidak sabaran mengecam idiot yang lambat. Akino menangis sembari mengambil potongan-potongan pelat yang hancur. Tapi dia masih dimarahi dengan keras oleh para senior setelah ini. Akino buru-buru berteriak ketika berhadapan dengan tugasnya. Diet biara harus vegetarian, tapi ini tidak diikuti sepenuhnya. Kemiskinan adalah satu hal, tapi makan daging tanpa keprihatinan adalah hal lain. Apa yang mereka panggang sekarang adalah daging rusa yang telah diburu beberapa hari sebelumnya.

Perut Akino bergemuruh karena kelaparan. Tutupnya berdentang dan mulai bergetar seakan memberi respon padanya.

Setelah menyelesaikan makan siangnya dan membersihkan sedikit, Akino memiliki sedikit waktu luang sampai tiba waktunya untuk menyiapkan makan malam yang mereka sebut 'slop'. Akino diam-diam menyaksikan seniornya, mengambil pemantik api yang kecil dari gudang dan beberapa ubi jalar berukuran kecil dan berjalan ke kuil yang setengah rusak yang merupakan dasar dari biara.

Akino pertama menggali lubang dangkal di tanah. Setelah menempatkan ubi jalar ke dalamnya, ia menaruh daun-daun yang jatuh di atas, lalu membakar daun-daun itu dan menutupinya dengan abu. Setelah di lihat bahwa daun telah di bakar, ia diam-diam duduk di kaki pohon cedar yang ada di dekatnya.

Karena baru-baru ini tidak hujan, daun terbakar dengan cepat menjadi abu. Akino terpesona melihat abu yang tertiup angin sewaktu diam-diam menunggu ubi jalar selesai di panggang. Itu karena Akino akan dimarahi oleh Tadanori jika Tadanori melihatnya di tempat persembunyiannya sedang diam-diam memanggang dan memakan makanan yang ia ambil secara diam-diam. Bahkan jika ia terlihat senior lainnya, itu semua akan disita.

Biara Akino tinggal disebut Kuil Seishuku. Sebuah biara gunung yang terletak di dekat puncak gunung yang jauh dari peradaban. Memperoleh sesuatu di sini sangat sulit dan seperti tempat yang terisolasi dari dunia luar.

Tidak, bukan 'seperti' itu, itu dimaksudkan dengan menjadi terpencil. Bahkan lingkungan dari biara aktif menyembunyikan keberadaan mereka dari dunia. Itu adalah tempat yang telah merosot kebelakang. Sebuah dunia yang berbeda dari luar kaki gunung, sebuah pegunungan dunia alternatif sebenarnya.

Akino merupakan yang termuda di dunia alternatif ini dan juga yang paling lemah. Ia selalu di bagian bawah hirarki. Mengesampingkan penampilan untuk sekarang, ia berada di mana ia membantah semuanya. Bahkan di awal makan siang, tidak ada daging rusa lezat bersama dengannya. Meskipun ia mempunyai sedikit harapan, ia akhirnya kecewa. Jadi ia telah mengambil kesempatan saat ini untuk mengisi selera masa pertumbuhannya.

Panas api itu sudah lenyap. Udara dingin terasa meresap ke dalam dirinya sedikit demi sedikit saat ia langsung duduk di tanah. Tapi ia

beruntung sekarang tidak berangin. Akino menekuk lututnya, meringkuk menjadi bola kecil dan diam-diam menatap abu. Akino berpikir jika cara ini membuat ubi jalar menjadi sedikit lebih hangat dan sedikit lebih lezat, ia tidak keberatan menunggu sambil kedinginan. Hatinya juga sedikit bahagia, serta tegang sehabis diam-diam mengambil makanan. Sebenarnya, memanggang ubi jalar adalah satu-satunya hal yang Akino rasa menyenangkan beberapa hari terakhir.

".... Ubi jalar Ubi jalar ~ ~ Apa kau sudah matang? Lezat ~ Panas ~ Nginging....."

Tidak jelas apakah waktunya sudah benar, tetapi apa ubinya sudah matang atau belum sepenuhnya mengandalkan kata hati Akino sendiri.

"Mereka hampir matang", "Ah, aku akan sedikit menunggu."

Tepat ketika Akino santai berbicara pada dirinya sendiri.

"Hei, Akino!"

Tiba-tiba sebuah suara hardikan keluar dari belakangnya dan Akino diam ketakutan. Ia memegan lututnya, dan pada saat yang sama, tubuhnya menjadi kaku. Bersamaan dengan itu, di atas kepalanya - tepat di bagian atas, di mana seharusnya tidak ada sesuatu sama sekali - sebuah 'gangguan' terjadi, sebuah fenomena yang disebut lag. Kemudian, sesuatu yang tersembunyi disana terwujud dan mengungkapkan diri mereka sendiri.

Dua telinga menonjol sedikit. Mereka adalah dua buah telinga kelinci, tertutup bulu perak keputihan. Bukan hanya telinga. Sebuah potongan ekor pendek juga muncul di pantatnya yang duduk di tanah. Itu adalah ekor kelinci, seperti telinganya.

Akino terbelalak tidak bisa bergerak, dan hanya telinganya panik berputar ke segala arah. "Haha." Sebuah tertawa kering terdengar setelah Akino terlihat seperti itu. Setelah mendengar suara itu, ketegangan tiba-tiba menghilang dan ia menjadi rileks, telinga di kepalanya turun seolah-olah mereka kehabisan energi.

"Sen-jiichan...."

Ia menengok kebelakang dengan ekspresi bahagia setelah melihat orang tua berjalan keluar di antara pohon-pohon cedar sambil tersenyum. Rambut putihnya tergantung di sanggul tegak lurus, dan ketika dilihat bersama-sama dengan janggut putihnya, orang akan tahu sekilas ia adalah seorang pria tua. Anehnya, ia mengenakan jas putih usang, hakama yang ditambal di atasnya dan jubah yang pas. Tapi entah kenapa, pada pandangan pertama ia tampak tidak dapat di andalkan, bukan hanya dari penampilan malasnya. Sebuah senyum menggoda muncul di wajah penuh kerut saat ia menampakkan kekanak-kanakannya, watak imutnya.

"Jangan terlalu terkejut, Akino. Kau masih kurang latihan."

"Sen-jiichan membuatku takut ~ Khususnya sejak jii-chan mengubah suara jii-chan."

"Apa yang kau pikir tentangku, menjadi begitu takut padaku? Telinga panjang itu untuk apa?"

"A-aku tidak memiliki mereka karena aku menyukai mereka....."

"Haha... kau mungkin senang dari melihat ubi jalar. Tadanori-san akan melihatmu cepat atau lambat jika kau seperti ini. Ia sedang dalam suasana hati yang mudah marah baru-baru ini, sehingga kau pasti akan mendapatkan omelan jika kau tertangkap."

Sen tertawa keras, tapi Akino mengerutkan kening "Uu -", telinga di kepalanya melipat ke dalam seperti ''. Sebenarnya, sejak Sen memperingatkannya, ia tidak bisa memaksa Tadanori.

"Bukankah mereka telinga yang berharga? Kau selalu menyembunyikannya, kau harus menggunakannya jika mereka efektif."

"I-itu bukan urusan Sen-jiichan."

Akino cemberut serta memeluk lututnya dengan erat dan menggulung tubuhnya menjadi bola. Tapi saat ini ia tidak bisa menyembunyikan telinganya.

Akino adalah salah satu dari mereka yang disebut 'memiliki'.

Tampaknya baru-baru ini mereka di sebut juga 'roh hidup'. Yang dipanggil 'roh hidup' awalnya sebutan untuk orang yang ditubuhnya ada 'oni' dan akhirnya menjadi 'oni'. Tapi di zaman modern, ketika diyakini bahwa oni semacam roh, orang-orang yang kerasukan roh selain oni secara kolektif disebut 'roh hidup'. Dalam hal ini, roh hidup bukanlah hal langka di Kuil Seishuku, setidaknya menyisihkan masyarakat normal saat ini. Meskipun tidak bisa dikatakan banyak, orang yang kesurupan roh anjing atau roh rubah sering datang ke sini.

Tapi sayangnya, Akino bukanlah roh hidup biasa.

Ia adalah roh hidup 'kelinci' yang tidak sering terlihat di dunia ini.

"Tidak peduli berapa banyak kau ingin menyembunyikannya, sepertinya setiap kali kau ketakutan mereka akan muncul. Ini seperti kitsune yang berusaha menyembunyikan ekornya dengan kemampuan perubahan yang buruk."

"Jii-chan tidak perlu khawatir tentang hal itu. Meskipun aku masih tidak terampil sekarang, aku akan bisa menyembunyikannya dengan baik selama aku berlatih lagi."

"Tidak peduli seberapa baik kau menyembunyikannya, semua orang akan tahu tentang telinga itu cepat atau lambat."

"Itu tidak masalah. Aku ingin menyembunyikan mereka."

Akino dalam suasana hati yang buruk.

Telinga kelinci yang panjang adalah akar dari keruwetan rendah diri Akino.

Dia tidak tahu atau ingin tahu apa yang dipikirkan orang lain, tetapi untuk Akino, memiliki 'hal-hal seperti' melompat-lompat di kepalanya hanya terasa menjengkelkan dan benar-benar tidak berguna.

Ada orang yang menyebutnya gadis kelinci, dan ada pula orang-orang yang menghindari dan membencinya.

Yang lebih penting, Akino merasa dirinya pasti tidak memiliki bakat untuk menjadi sesuatu yang lebih besar - tepatnya, karena ia adalah seorang idiot dan karena kontraproduktif roh hidup kelinci yang langka tersebut, ia akhirnya diperlakukan idiot dan sering diperintah.

Orang lain juga memperlakukannya seperti binatang eksotis.

Untuk Akino, telinga yang dibenci ini adalah simbol dirinya diperlakukan sebagai objek yang tidak berguna.

"Aku pikir sepasang telinga itu cukup lucu."

"Itu... itu tidak benar."

Akino meringkuk menjadi bola ketika dengan sengaja menyangkal pujiannya.

Tetapi sementara ia menjawab perlahan, ujung telinganya dengan senang hati melompat-lompat. Alasan lain Akino selalu tidak menyukai menunjukkan telinganya adalah telinganya mengekspresikan sepenuhnya perasaan tersembunyinya. Tapi fakta bahwa Akino tidak menyembunyikan telinganya di depan Sen adalah bukti seberapa dekat Akino dengan Sen.

Cara Sen menggoda telinga kelinci Akino tanpa syarat tidak seperti perasaan bagaimana orang lain berbicara tentang telinganya dengan penghinaan dan kebencian.

Sebaliknya, Sen memperlakukan Akino seperti cucunya. Sen adalah satu-satunya orang yang Akino bisa bersantai di sekitar biara.

Telinga panjang Akino bergetar saat ia bertanya ke Sen: "Sen-jiichan, apa kau akan menyiram lagi?"

"Ya, itu benar." Sen menjawab sambil berpaling menghadap candi di samping mereka.

Candi ini hampir sepenuhnya rusak. Dinding dan atapnya berlubang, dan juga benar-benar tertutup rumput liar. Tampaknya ini disebut Gedung Tachibana. Karena tidak ada orang lain yang menggunakannya, Sen telah membawa pot dengan anak pohon yang ditanam di dalamnya dan dengan hati-hati mengangkat potnya.

Akino sering mendekat untuk mengusir kepenatan. Dalam alasan apapun, ia merasa paling nyaman di tempat yang sering dimasuki Sen.

"Apa pekerjaa jii-chan baik-baik saja?"

"Aku sudah dari tadi menyelesaikannya."

"Aaahhh... Tanpa diketahui, jii-chan.... AKu mendengar bahwa Sen-jiichan selalu seperti itu. Mengapa jii-chan dapat menyelesaikannya dengan mudah?"

"Aku adalah aku, kau tahu. Aku sudah tinggal lebih lama daripada kau, Akino. Menyelesaikan tingkat pekerjaan dengan cepat adalah wajar."

Sen adalah seorang hamba laki-laki di Kuil Seishuku dan bertanggung jawab melakukan tugas-tugas biara, seperti bagaimana Akino berada di vihara. Ia melakukan pekerjaan yang sulit bagi tubuh tuanya, orang tua yang ramah ini selalu ringan dan santai. Akino tidak bisa membantu tetapi berpikir bahwa ia  digunakan untuk hal-hal seperti ini. Namun, untuk Akino, ia tidak bisa membayangkan bisa terbiasa dengan hal semacam ini sama sekali.

"Rasanya seperti aku bisa melakukan banyak hal jika aku mampu menyelesaikannya sedikit lebih cepat..."

Ia mencoba diam-diam bergumam dengan kata-kata yang tidak realistis sama sekali.

Akino tampak seperti berumur dua belas atau tiga belas, tapi bahkan ia tidak tahu usia sebenarnya.

Ia tinggal di Kuil Seishuku sejauh yang ia ingat, selain pergi ke kaki gunung sebagai utusan, ia tidak pernah pergi ke tempat lain. Ia menjalani hidup yang tidak menarik ini bersama dengan perubahan musim. Bahkan ia tidak tahu bagaimana ia telah tumbuh selama ini. Ia tidak bisa membayangkan akan ada perubahan jika ia sedikt mencoba.

Tapi -

"Yah... akankah tempat ini masih ada ketika waktu itu datang?"

Sen tersenyum ketika berbicara seperti bukan dirinya dengan suara yang jelas. Ujung telinga Akino merespon dengan sedikit berkedut, dan ia menatap Sen dengan kepalanya "Eh -".

"Sen-jiichan? Apa artinya...."

"Hei Akino."

"Ya?"

"Apakah ubi jalar sudah matang?"

"Ubi jalar? ....Ahh!?"

Ia benar-benar lupa. Ia panik meraih sapunya, menggali ubi jalar dari abu. Seperti yang ia bayangkan, kulit luarnya telah menghitam. Akino meratap sementara Sen tertawa "haha -".

"Yah, baik-baik saja, aku akan pergi, makanan akan segera menghilang...."

Setelah mengatakan ini, Sen berjalan ke Aula Tachibana untuk menyiram bibit.

Setelah itu, Akino membuang sebagian dari bagian luar ubi jalar yang dipanggang dan hanya memakan bagian tengah saja.. Tapi ia sangat beruntung bagian yang tidak terbakar dipanggang dengan sangat baik, Akino menghibur dirinya sendiri.

Setelah ia selesai dan menyembunyikan bukti makanan yang ia ambil, ia berjalan-jalan - berhati-hati menyembunyikan telingnya -  dan kemudian kembali ke gudang.

Persiapan untuk makan malam akan segera dimulai sebelum senja.

Makan malam di biara disebut 'slop' karena hanya dua waktu makan yang disediakan, sarapan dan makan siang. Mereka tidak makan makanan saat makan  malam, tetapi makan 'slop' sebagai gantinya. Tentu saja, di Kuil Seishuku daging langka, itu hanya nama formal. Akino dimarahi lagi oleh senior dan berlari dengan ekspresi menangis sambil mempersiapkan makan malam.

Setelah setengah jalan, tidak ada cukup kayu bakar lagi, dan ia pergi ke luar untuk membawa beberapa masuk ke dalam.

Kemudian, ketika Akino sedang mengangkat kayu bakar yang ditumpuk dibawah atap dengan suara "uuurg", ia mendengar suara Tadanori.

"..... Kau begitu sabar. Identitas..... Ya, jika itu ada....."

Akino menoleh. Tadanori memiliki ekspresi sedih di wajahnya dan memegang ponsel dengan satu tangan sementara berjalan dari kuil.

".... Disini? Mengerti. Untuk saat ini saya akan mengirimkan orang. Apakah anda berada di sini besok? .... Ya ....Nn...."

Ia beberapa kali menjawab dan kemudian mematikan ponsel setelah percakapan berakhir. Akino diam-diam menatap Tadanori. Alih-alih tertarik pada isi pembicaraan, ia lebih tertarik pada bagaimana bisa Tadanori mempunyai ponsel.

Karena bekerja di biara, sinyal ponsel ada di gunung. Tapi Akino tidak mempunyai satu, dan ia bahkan tidak pernah menyentuhnya.

Mempunyai sebuah ponsel adalah salah satu keinginan Akino.

Setelah Tadanori memperhatikan Akino yang menatapnya, ia menoleh. Untuk menghindari dilihat sebagai orang malas, Akino buru-buru berbalik, membawa kayu bakar dan berjalan pergi.

Tapi Tadanori memanggil Akino saat Akino berbalik dan bersiap untuk pergi.

"Akino -"

"Y-ya? Aku tidak malas. Aku serius mempersiapkan makan malam...."

"Ya. Sudah. Aku hanya ingin memintamu untuk menjadi seorang utusan."

"Seorang utusan?"

"Ya. Pergi ke Gedung Depan sekarang untukku."

Setelah mendengar itu, Akino sengaja mengungkapkan telinga yang awalnya ia sembunyikan - meskipun ia terkejut, ada beberapa sukacita dalam hal tersebut.

Sama seperti namanya, Gedung Depan ada di luar biara - itu adalah ruang Kuil Seishuku yang didirikan di kaki gunung.

Itu telah direnovasi jauh sebelum Akino lahir dan telah digunakan oleh kota sebagai gudang untuk menyimpan bahan-bahan yang dibeli sampai sekarang. Untuk Akino yang hampir tidak pernah bisa keluar, tempat itu seperti koneksi ke dunia luar.

"Jika kau bisa, turunlah sebelum hari gelap. Akan lebih baik untuk datang kembali besok, cepatlah."

Hati Akino berdetak lebih cepat ketika ia mendengar bahwa ia bisa tinggal semalam. Ia bisa melebarkan sayapnya dan terbang tinggi malam ini - dan bermain untuk isi hatinya. Tidak peduli apa, ada majalah dari luar di Gedung Depan bersama dengan televisi. Meskipun ada majalah,

televisi, dan komputer yang terkoneksi internet di biara, Akino tidak bisa memonopoli salah satu dari mereka. Kebebasan kecilnya saat ini seperti nafas sesaat ketika ia merasa gembira.

Kemudian,

"J-jika sekarang, bagaimana dengan makan malam.....?"

"Ada beberapa makanan cepat saji disana."

Akino tidak bisa menahan perasaan takjubnya. Ia hampir melempar kayu bakar untuk mengangkat tangan dan bersorak? Wajah Tadanori menjadi murung, Akino buru-buru menyingkirkan ekspresi kekanak-kanakannya.

Baru saat itulah ia mengumumkan bahwa ia tidak pernah mendengar sesuatu yang penting.

Ia kembali bertanya sambil menenteng kayu bakar.

"Lalu Imam Tadanori? Sebenarnya aku utusan untuk siapa?

"Apa kau tidak mendengar? Aku akan menghubungi Kengyou-sama sekarang. Sepertinya akan ada murid baru. Sepertinya orang tersebut sudah di kaki gunung."

Saat itu, ada sedikit 'gangguan' di atas kepalanya, dan Akino buru-buru menekan kepalanya. Mata di balik kacamatanya menjadi lebar dan membulat.

"Dia besok harus segera pergi. Jadi besok, kau akan membawa orang itu ke biara menggantikanku, tidak apa kan?"

Tadanori mengerutkan kening dan Akino kembali bersamanya. Setelah memberikan Akino kunci Gedung Depan, ia kembali ke pekerjaannya. Di sisi lain, Akino yang tertinggal, masih terkejut setelah menerima kunci.

Tadanori mengatakan untuk membawa murid ke biara.

Lagi pula, akan ada orang baru di biara.

Pengharapan dan emosi gelisah bergejolak di dalam hatinya. Itu sudah beberapa tahun sejak pendatang baru. Orangnya seperti apa? Seorang pria? Seorang wanita? Berapa lama? Apa itu orang yang berhati lembut atau individu yang berhati busuk? Apakah orang itu akan mengejek Akino jika ia melihat telinga kelincinya?

".....Ah, hmmm? Tunggu! Jika seseorang sudah berada di kaki gunung, berarti....."

Tinggal di Gedung Depan dan membawa orang itu besok yang artinya Akino harus tinggal bersama dengan pendatang baru malam ini.

Tiba-tiba, perasaan tidak enak dengan cepat membengkak dibandingkan dengan penantiannya. Akan lebih bagus jika orang itu adalah seseorang yang mudah berbicara, tetapi jika tidak, ia mungkin terlalu gugup untuk tidur. Apa yang harus ia lakukan?

... Akino, yang kesedihannya terlihat berkumpul di wajahnya, mendengar suara 'gak' gagak dari kejauhan saat ia ditinggal sendirian. Langit sudah benar-benar gelap dengan tenggelamnya cahaya matahari dan mataharipun perlahan-lahan tenggelam. Meskipun Akino memiliki keyakinan akan kecepatannya, itu terlalu berbahaya untuk berjalan di jalan gunung pada malam hari. Jadi ia harus buru-buru turun sebelum matahari
terbenam sepenuhnya.

Ia cepat-cepat kembali ke gudang untuk menjelaskan situasi kepada seniornya.

Awalnya, sekarang adalah waktu yang sibuk, tapi Akino ingin pergi, jadi seniornya yang sangat sarkatis dengan Akino, tetapi tidak bisa menunda karena itu adalah misi dari atasan. Akino terus menerus meminta maaf dan kemudian meninggalkan gudang dengan terburu-buru.

Pohon maple berdaun merah bergoyang karena angin dan kemudian diam-diam jatuh ke tanah.

                                                                       ☆☆☆

Sudah sejak lama ia memiliki kesempatan untuk keluar dan berjalan-jalan, langit hitam dan lingkungan telah diselimuti kegelapan pada saat Akino berjalan menuruni gunung.

Ia pergi melewati hutan gunung melalui terasering di lereng gunung. Lampu dari rumah-rumah keluarga petani yang jarang melewati jurang yang lumayan dalam. Kemudian, bukit-bukit yang mengelilingi daerah ini tersebar diatas kepalanya sampai malam. Awan di langit tidak biasanya terlihat cocok, dan ia bisa merasakan suasana yang berat. Tidak begitu banyak cahaya bulan tenggelam yang menyebar diantara awan-awan melainkan memberi perasaan berbeda bahwa itu memberi birunya langit warna yang berbeda. Awan yang melayang dari satu sisi bulan yang lain berubah bentuk mereka sedikit demi sedikit karena mereka mengalir perlahan-lahan.

Akino yang biasanya hidup dikelilingi oleh hutan cedar yang tinggi. Di dunia itu, Akino kadang-kadang kosong , tempat terbuka dan kewalahan akan perasaanya saat melihat luasnya langit. Seperti kelinci yang merangkak keluar dari bawah tanah. Ia awalnya menganggap dirinya sangat kecil, bahkan lebih kecil yang keberadaannya seperti kerikil atau gulma.

Namun di sisi lain, ia tiba-tiba berlari memperhatikan ke beberapa sudut di bawah langit dan tiba-tiba memiliki perasaan yang tak bisa dijelaskan.

Bahkan jika ia tidak tahu ke mana harus pergi - bahkan jika ia hanya bisa pergi ke beberapa tempat yang bisa ia bayangkan, hatinya tidak bisa berhenti berdebar dan ia berpikir satu pikiran berlari ke depan. Yang lain di dalam biara mungkin juga memiliki perasaan yang sama.

Akino tidak meninggalkan gunung.

Bahkan Akino tahu dunia luar. Ia hanya menerima ajaran-ajaran yang paling dasar dari orang dewasa di biara. Melalui majalah, televisi, internet - tentu saja, tidak lengkap - ia memahami praktik sosial normal tentan dunia luar gunung.

Tapi itu hanya pengetahuan, dan itu adalah pengetahuan tentang dunia lain. Meskipun kadang-kadang ia ingin pergi, itu adalah dunia asing.

Akino adalah benda asing bagi dirinya, karena ia telah mengalaminya sendiri. Meskipun roh hidupnya sangat berharga, itu hanya roh kelinci.

Berapa banyak orang yang pernah tinggal di tempat tertutup sejauh yang mereka ingat bahwa disini adalah Jepang? Meskipun biara itu tidak normal di dunia luar, biara itu adalah segalanya baginya.

Tapi kenapa ia benar-benar ingin berlari keluar dan melihat pemandangan dari seberang biara?

Tentu saja, dirinya yang lambat pasti tidak bisa memberikan jawaban untuk hal seperti itu tidak peduli seberapa keras ia berpikir.

".....Ah, aku lapar."

Ini sudah waktunya untuk makan malam di biara. Akino menggenggam kunci terus menuju Gedung Depan.

Bagian Gedung Depan merupakan persimpangan antara Kuil Seishuku dan jalan kota, terletak di tengah sebidang kecil tanah datar.

Meskipun itu disebut gedung, itu tampak seperti sebuah gudang tua dari luar. Biasanya hanya ada sebuah penghalang defensif otomatis disekitarnya, tapi sekarang cahaya lampu dinyalakan di pintu masuk untuk barang dari luar, memperlihatkan cahaya kecil berwarna oranye.

Ada dua orang di bawah cahaya itu.

Salah satu wajahnya dikenali oleh Akino dan yang lain adalah wajah asing. Detak jantung Akino semakin keras.

"Ah, apa kau kelinci? Kau utusannya?

"I-imam Kengyou!? Tolong jangan panggil aku seperti itu! Kan sudah aku katakan!"

"Yah, bahkan dengan pinggul dan dada, kau terlihat seperti kelinci. Kau mungkin berkembang sejak saat itu, kan? Hmm?"

"II-itu....."

Apa yang ia katakan di depan pendatang baru? Akino tersipu dan menatap pria yang mengenakan setelan di depannya - Imam Kengyou.

Meskipun Kenyou merupakan Ajari dari Kuil Seishuku, ia tidak memakai pakaian Imam juga tidak mencukur botak kepalanya. Ia selalu bekerja di luar biara serta baik dalam berbagai aspek.

Biarawan bejat pecinta perempuan ini akan dievaluasi sangat buruk dalam beberapa aspek sebagai murid. Akino tampaknya masih berada di luar jangkauan serangan Kenyou, jadi ia terbiasa dengan kelakarannya.

"Lagi pula, apa kau dengar tentang sesuatu? Orang ini adalah seseorang yang berharap untuk masuk biara, yang selama bertahun-tahun tidak 'dimasuki'."

Kengyou ringan membelai dagunya, berbicara dengan nada yang sombong. Sebelum Akino mempersiapkan dirinya untuk menghadapi ia lagi, sosok yang menunggu di belakangnya melangkah keluar dari belakang Kengyou.

Itu adalah seorang gadis.

Dan ia masih sangat muda. Tapi ia lebih tua dari Akino. Mungkin ia sudah menjadi siswa SMA. Rambut hitam panjangnya mencerminkan kulit seputih saljunya. Ia memiliki tubuh yang langsing dan paras yang cantik. Sebagai seseorang yang berjenis kelamin sama, Akino terkejut.

Gadis ini luar biasa indah di kedua fitur dan sosok.

Tapi ia memberi kesan yang sangat dingin.

Apakah itu sinar rembulan yang tenggelam dari atas kepalanya? ia tidak bisa melihat apapun yang menyerupai suka atau tidak suka di matanya yang menatap Akino. Ekspresi itu juga, tenang dan tidak terusik seperti permukaan danau. Ia memberi kesan tenang, kesan menyeluruh daripada tidak peduli. Ia keras dan menyendiri daripada tidak berperasaan.

Ia mengenakan mantel pendek, celana pendek dan kaus kaki panjang. Ia memakai sarung tangan tanpa jari dan sepati bot pendek di kakinya. Sebuah tas berpola loreng yang tersandang di bahunya. Alih-alih terlihat tomboy, itu lebih terlihat seperti ia berpakaian cukup efisien dan tanpa hiasan. Jadi, perbedaannya terlihat jelas seolah-olah itu mendominasi karakter gadis itu.

Tapi ada pengecualian pada hiasan di kepala.

Ada pita merah muda yang mengikat rambut hitamnya yang panjang.

".......Um....."

Sama seperti Akino hendak menyambutnya, ia segera menyadari bahwa ia tidak tahu harus berkata apa.

Akino menilai gadis itu adalah jenis yang sangat tidak mudah berbicara dan bahkan merasa ketakutan.

Tapi meskipun ia tidak yakin alasannya, ia merasa aneh. Orang lain mungkin tidak merasakan apa-apa. Namun, ada sesuatu yang jelas, suram, dan sesuatu yang tidak menyenangkan.

Meskipun begitu, ia tidak bisa bergerak dari tatapan gadis itu.

"...."

Gadis itu juga tanpa kata-kata kembali menatap Akino, yang tidak bisa mengatakan apa-apa an hanya menatap tajam ke arah Akino. Kemudian, aroma tanah pegunungan, tumbuh-tumbuhan, dan sejenisnya dicampurkan bersama-sama dan aroma samar muncul di sekitarnya.

Itu adalah aroma dupa yang belum pernah ia cium.

Kemudian,

".... Senang bertemu denganmu, aku Hokuto."

Gadis itu membuka mulutnya.

Kata-katanya datar, tetapi suaranya bersih.

"A-ah, ya! Aku-aku, um, uh Akino, jadi.....!?"

Ia tiba-tiba tegang dan lidahnya menjadi kelu. Ini pasti kesan yang sangat buruk. Dengan kata-kata menggoda Kengyou yang baru saja dikatakannya, ini adalah kesan pertama terburuk. Mungkin ia sudah di anggap idiot oleh gadis itu yang masih tidak bereaksi.

Kengyou yang tidak peduli dengan memerahnya wajah Akino, berbicara dengan sikap yang tidak teratur.

"Kemudian, sudah selesai, kan? Akino, aku akan pergi, jadi aku akan meninggalkan sesuatu yang lain untukmu."

"Eh? K-kau sudah mau pergi?"

"Kau terlambat, aku sudah menyelesaikan semuanya. Aku harus kembali ke kota hari ini."

Kengyou melihat arloji sambil berbicara tanpa basa-basi, tapi Akino dengan cepat diliputi kepanikan.

"Tapi, kau benar-benar tidak memperkenalkan kami....."

"Lakukan apapun yang kau suka sampai malam. Kalau dipikir-pikir, aku sedikit terburu-buru, jadi aku tidak punya waktu untuk terus mengobrol."

Kengyou melirik gadis itu dengan tatapan dingin sambil berbicara. Gadis itu masih tidak merespon.

Perut Akino mulai melilit.

"Sampai nanti. Jangan melakukan sesuatu yang merepotkan."

Kengyou dengan egois pergi tanpa kata-kata, tanpa menjelaskan apapun, dan pergi. Seperti itu, Kengyou berjalan menuju mobil yang berhenti di jalan. Akino tampak didorong ke sudut dan menatap gadis dihadapannya dengan Kengyou meninggalkan mereka sebagai latar belakangnya.

Kemudian,

"Ah, benar."

Tanpa diduga, Kengyou berhenti dan berbalik.

"Akino, Hokuto, kalian berdua akan berteman di biara, kan? Karena kalian berdua adalah sahabat dengan keadaan yang sama."

"Eh? Aa-apa artinya itu?"

Kengyou tersenyum ringan ketika Akino bertanya kembali. Itu adalah senyuman yang ia sering lihat di biara dari senior dan Ajari. Senyum yang mengejek orang lemah, sebuah ungkapan yang mengejek seseorang di tempat terakhir.

"Karena kalian berdua roh hidup yang berharga, sehingga berlatih sebanyak mungkin dan melakukan yang terbaik untuk biara."


Part 3

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

1 komentar:

Write komentar
Rio Fauzan
AUTHOR
May 13, 2015 at 9:46 PM delete

lanjutin dong ! tanggung nih

Reply
avatar